Aku hanyalah manusia kerdil yang di pandang orang sebelah mata, aku
hanyalah manusia nista yang di caci maki orang di luar sana. Aku
bagai sampah yang di
PENULIS : ........
Facebook : rusdy ajza laah
ludahi,
di tindas, lalu di lenyapkan. Kala rintik hujan mulai turun kaki ku
membaur darah di mana-mana, serpihan beling menancap pedih di dasaran
kaki hingga terkadang tak ku lihat lagi darah segar yang bermuncratan
dari kaki ku. Apa sebab? Karna darah ku telah bersatu dengan tanah yang
ikut menjadi kawan pilu di setiap langkah ku. Aku ini hanya lah seorang
pemulung kecil yang terpaksa terjun ke hamparan tanah dengan kaki
telanjang dan baju setia yang selalu melekat di tubuhku. Tak ada ibu
apa lagi bapak. Aku bagai butiran telur yang di biarkan menetas sendiri,
tak ada kehangatan yang menyelimuti, hanya setitik cahaya yang mampu
menerangi jalan hingga aku seperti ini.
Tapi aku masih bisa tersenyum manis di atas kepahitan yang
mendera hidupku. Sebab aku tak sendiri, Tuhan memberi ku teman untuk
menyusuri petualangan hidup yang sesempit ini. Nina mampu membuatku
tersenyum meski sengaja luka ku harus terselubung. Ya, dia adik ku yang
ikut merangrang duka bersamaku. Usia nya masih enam tahun dan aku empat
tahun lebih tua dari nya, kami sepasang kakak adik yang terlantar dari
orang tua, ibu ku telah pergi sejak iya memperkenalkan Nina ke dunia.
Sedang bapak ku. Ah aku tak peduli? Karna iya pun tak peduli dengan aku
dan Nina. Setelah empat tahun ibu pergi meninggalkan kami, bapak telah
menemukan penggantinya. Secepat itu memang bapak melenyapkan ibu dari
memory otak nya. Mungkin dia layak di sebut sebagai orang yang tak
memiliki otak. Sebab kala adik ku memasuki umur empat tahun dengan
seenak hasrat nya iya meninggalkan kami. Dan bayangkan, kala itu usia ku
masih delapan tahun, di mana usia seperti itulah aku membutuhkan
kehadiran sosok ayah. Aku memang tak menuntut kehadiran ibu kala itu,
karna aku menyadari bahwa ibu tak akan mungkin kembali bersama kami.
Aku melihat ibu pergi saat detik-detik kelahiran adikku, dan itu
nyaris membuat hidup ku pupus. Meskipun usiaku sangat belia tapi aku
merasakan kedukaan itu. Dan saat orang-orang mengangkat jasad ibu hingga
memasukan nya ke tanah liat yang terkesan berbentuk balok itu, aku
hanya bisa melihat nya dari atas dengan sesekali aku menitihkan air
mata. Kecil-kecil saja aku telah di perlihatkan dengan kematian. Sungguh
ironi memang! Kendati begitu aku tak pernah mengeluh pada kehidupan,
aku jalani sekuat ragaku, sepanjang hembusan nafas ku. Hingga akhirnya
aku membesarkan nina dengan kedua tangan ku sendiri, meski aku terlahir
sebagai seorang lelaki tapi aku mengerti bagaimana cara mengurus adikku.
Dengan pekerjaan ku yang hanya seorang pemulung, ku rasa aku mampu
memberi sebungkus nasi untuk Nina. Meski terkadang aku rela tak makan
karna nya. Aku menyanyangi Nina melebihi segala nya. Dia adik satu-satu
nya yang aku punya hingga kini. Dan kami hidup di sebuah gubuk kecil di
pinggiran jalan. Hanya gubuk itu satu-satu nya tempat yang dapat kami
tumpangi, meski terkesan tak layak untuk di tinggali, tapi aku rasa itu
sangat layak untuk aku dan Nina hidup untuk masa ke depan nya.
Kala awan gelap turun lebih cepat dan langit jingga tak tampak lagi
menyinari, hingga matahari kembali beradu di ufuk barat. Aku masih
berjalan diiringi kegelapan, aku melangkah menyusuri sampah demi sampah
yang menggunung. Mencari sesuap nasi yang akan ku bekali untuk adikku,
Nina. Meski kini aku tak bersama Nina. Iya sengaja ku tinggalkan sendiri
di rumah tanpa iya harus mencariku, karna dari sejak iya berumur empat
tahun itu aku telah mengajarinya kemandirian tanpa bergatung pada orang
lain. Mungkin kini iya hanya sedang berbaring menunggu kedatangan ku.
Aku tau kalau tindakan aku ini tak sepantasnya ku lakukan pada nya. Tapi
apa lah daya, aku ini tak memiliki apa-apa, tak mengerti apa-apa,
kecuali hanya mencari tumpukan sampah. Aku pun berjanji pada nya akan
pulang jika aku telah membelikan makanan untuk nya. Oleh karna itu, aku
masih menyusuri jalan dengan kedua kaki ku yang telanjang tanpa alas.
Dan aku Singgah dari tempat satu ke tempat lain, mengharap mendapatkan
tumpukan sampah yang bernilai guna.
Tak lama aku menyusuri jalan yang tajam ini, keranjang sampah ku
terasa berat. Ku rasa ini sudah cukup untuk membelikan sebungkus nasi
untuk Nina. Dengan hati sedikit lega, ku langkahkan kaki untuk
menukarkan sampah itu agar menjadi lembaran uang. Ya, aku melihat di
seberang jalan ada pasar yang menerima sampah-sampah bekas seperti ini.
Segera ku susuri jalan dengan hati yang senang. Namun aku merasakan
gelagat lain, jantung ku tiba-tiba berdenyut kencang, kaki ku mendadak
kaku, dan tubuhku terasa sangat dingin. Aku pun tak meneruskan langkah,
aku berhenti sejenak di pinggiran jalan. Tapi mata ku tak tahan untuk
segera menyebrangi jalan itu, aku terbayang sosok adikku yang menunggu
kelaparan, hingga akhir nya ku turuti kehendak mataku itu. Aku mulai
menggerakan kaki ke ruas jalan. Dan apa yang ku dapat! Tiba-tiba sebuah
mobil sedan berwarna biru metalik melaju dengan kencang nya hingga mampu
membuat mataku menjadi suram. Aku seperti berada di depan cahaya yang
teramat terang. Kaki ku kini menjadi mengeras bagai es di kutub utara,
aku tak bisa bergerak, mata ku samar menatap, tubuhku mendadak lemas,
dan aku terhempas. Semua orang berbondong-bondong menghampiri jasad ku.
Aku melihat banyak mata memandang duka ke arah ku. Aku tak mengerti? Aku
seperti telah terbang, kaki ku yang tadi nya bersentuh tanah kini tak
ku rasa lagi. Badan ku terasa ringan. Aku pun mengawang, terbang ke atas
langit. Pertanda apakah ini? Dimanakah aku sekarang? Dan sekelebat
cahaya putih menghampiri ku. Wajah nya terlalu bersih berseri, iya
mengenakan baju putih suci. Dia berkata padaku :
Sekarang sudah waktunya kamu ikut bersamaku?
Ikut bersamamu?
Iya.
Memang kita mau kemana?
Kita akan menuju hidup yang abadi?
Tidak! aku tak ingin ikut dengan mu, masih ada seorang adik yang sangat membutuhkanku, aku tak akan mungkin ikut dengan mu.
Tapi ini sudah saat nya, kamu bukan lagi manusia seutuh nya. Kamu adalah
roh yang keluar dari jasad mu itu? Kata nya sembari menunjuk ragaku
yang terbaring bersimbah darah di tengah jalanan.
Apa? Jadi aku telah mati?
Ya.
Tapi, berilah aku waktu untuk kembali menemui adik ku. Dia pasti sedang menungguku.
Baiklah, tapi waktumu hanya sebentar.
Aku pun segera berlari meski kaki ku tak menyentuh tanah, bisa di
bilang aku seperti terbang. Sesampai aku di gubuk tua itu. Aku melihat
sepasang bola mata yang sangat redup terpancar dari raut adikku. Aku
coba mendekati nya hingga hasrta ku ingin sekali mendekap nya. Namun
sia, tangan ku menembus badannya. Aku sedih, hingga aku menangis di
hadapan nya. “Maafkan, aku dik! Aku tak bisa lagi menemanimu seperti
dulu, Aku tak bisa lagi membelikanmu sebengkus nasi, kini dunia kita
telah berbeda . Tapi aku janji akan selalu menjaga mu dari atas sana.”
Aku berucap sembari minitihkan air mata. Aku merasa kehilangan sosok
nya. Dan ku lihat adik ku seperti kelaparan iya meremas perut nya dan
berbaring sampai akhir nya aku melihat jasad nya untuk yang terakhir
kali. Dan aku kini telah pergi jauh mengangkasa.
PENULIS : ........
Facebook : rusdy ajza laah
No comments:
Post a Comment