Kriiing… Suara nyaring jam beker pun bernyanyi membangunkanku, kala
mentari merekah dengan cahayanya yang keemasan, menerobos dedaunan dan
sela-sela pohon hingga ke celah jendela kamarku. Diiringi suara merdu
kicauan burung yang siap beterbangan menikmati suasana alam sekitar.
Kali ini giliran aku tak dapat membuka kedua mataku karena masih sangat
mengantuk. Tiba-tiba mataku terbuka lebar, ternyata jarum jam telah
menunjuk angka 06.00 WIB. Bergegas aku lari menuju kamar mandi untuk
bersih diri dan segera berangkat sekolah. Hari ini aku mendapat
pelajaran bahasa Indonesia, Biologi, bahasa Inggris dan TIK. Bagiku
semua materi pelajaran tersebut sangat mengasyikkan. Bel pun telah
berbunyi tiga kali tanda pelajaran telah selesai.
Sepulang sekolah aku bergegas pulang karena nanti aku harus kembali
ke sekolah pukul 13.15 WIB untuk mengikuti kegiatan ekstra Pramuka.
Dengan kegiatan inilah aku bisa hidup semandiri ini, aku juga bisa
mengerti dan belajar tentang banyak hal tentang bagaimana cara
mempertahankan kehidupan saat kita jauh dari orang tua. Namun sayang,
upayaku untuk mempertahankan keikutsertaanku mengikuti kegiatan ini
sedikit goyah karena kurangnya dukungan dari ibuku. Dia mengira karena
kegiatan Pramuka ini akan mengganggu kesehatan dan prestasiku bisa
menurun karena padatnya jadwal latihan. Bahkan, aku dituntut untuk
berhenti jika aku sudah kelas IX nanti.
Sesampainya di rumah aku segera makan siang dan mandi. Usai mandi,
aku memakai seragam pramuka lengkap dan sedikit berdandan, sebab jika
terlalu menor akan percuma terkena panas matahari sehingga akan mudah
luntur.
Sebelum berangkat, aku sembahyang terlebih dahulu. Selama sembahyang,
aku mendengar suara nyaring ponselku berteriak berkali-kali. Aku
mengira kalau itu si Nana yang numpang berangkat Pramuka, jadi aku
nyantai-nyantai saja tidak terlalu mempercepat bacaan shalatku. Usai
shalat, aku menyegerakan melipat mukena dan menghampiri ponselku yang
dari tadi bernyanyi. Aku melihat disitu persis nama David teman Yogha
dan juga gitaris band d’Kendhis. “Ada apa ya David telepon aku?” kataku
dengan nada keheranan padahal selama kenal dia tidak pernah meneleponku.
Tanpa banyak langkah, cepat-cepat kuterima telepon dari David.
“Hallo, Rizma?” sapa David dengan nada tergesa-gesa.
“Hallo juga, Vid. Ada apa? Kok tumben.” tanyaku heran.
“Yogha sudah pulang!!” katanya singkat.
“Emangnya dia darimana, dan pulang kemana?” tanyaku lagi.
“Maksud aku, Yogha telah pergi untuk selamanya meninggalkan kita Riz.
Kuharap kamu bisa mengikhlaskan kepergiannya.” jelas David dengan nada
sedikit menangis.
“Apa? Tidak mungkin, kamu pasti bercanda. Iya kan, Vid? Yogha itu masih hidup.”
“Rizma, apa suara tangisanku belum cukup untuk membuktikan kalau aku
sedang tidak bercanda? Sekali lagi kamu yang sabar ya? Aku tunggu
kedatanganmu disini.”
Aku tak bisa menjawab apapun kata-kata David, kuletakkan ponselku dan
masih kudengar David memanggil namaku ketika aku terdiam dan menangis.
Ternyata seminggu yang lalu adalah pertemuan terakhirku dengan Yogha.
Tak terasa air mataku jatuh meleleh di pipi. Langkahku untuk berangkat
latihan Pramuka terhenti disini. Inikah yang dimaksud Yogha tentang
taman indah yang abadi, yaitu sebuah kematian. Kematian yang membuatnya
tidak pernah lagi merasakan sakit yang luar biasa. Kematian yang
membuatnya bisa hidup dalam keabadian, dan kematian yang akan
meninggalkan kisah mendalam yang telah ada sebelumnya.
Satu bulan kemudian setelah kematian Yogha bulan September lalu, aku
masih belum bisa melupakan dia. Dia masih saja menari-nari di otakku
bahkan pernah hadir dalam mimpiku sejenak meminta minum. Selain itu,
prestasiku di sekolah juga semakin menurun ke peringkat 18, padahal
bulan kemarin aku masuk peringkat lima besar. Sehari-hari aku juga masih
suka menangis dan menyendiri, tak menghiraukan siapapun yang ada di
sampingku. Seakan-akan aku masih belum percaya bahwa Yogha sudah tiada.
Anggota keluargaku juga keheranan melihat keadaanku yang semakin lama
semakin memburuk.
Saat aku berada dalam kamar, aku mendengar suara kakakku yang sedang
ijin kepada ibu untuk membawaku ke Magetan. Aku keluar kamar sambil
menangis, ibu pun memelukku. Dia tidak tega melihatku bersedih
terus-menerus seperti ini. Meskipun ibuku tak pernah mengijinkan aku
berpacaran karena masih usia anak sekolah dan takut mengganggu
prestasiku, tetapi aku bandel dan ia pun tahu bagaimana sifat Yogha dari
ceritaku. Akhirnya, ibu pun merestui kepergianku untuk melihat kondisi
makam Yogha, agar aku percaya bahwa dia sudah menjadi kenangan.
Tangis kecil mengiringi perjalananku menuju tempat peristirahatan
Yogha. Kenapa perjalanan ini seperti perjalanan yang menyiksa hati? aku
pun tak bisa menjawab semuanya. Kuhempaskan punggungku ke jok mobil
sambil terus menggenggam erat kalung berliontin namaku ini karena hanya
ini satu-satunya kenangan yang diberikan Yogha kepadaku di hari
bahagiaku tahun lalu. Selain itu, dalam liontin kenangan ini tersimpan
berjuta cerita yang tak mungkin hilang meski duniaku dan Yogha kini
berbeda.
Sesampainya di pemakaman, kakiku berdiri tegak terpancang di depan
sebuah makam yang tanahnya terlihat masih basah. Bersimpuhku di hadapan
makam Yogha dengan penuh linangan air mata yang begitu deras. Kugenggam
erat gumpalan pasir kecoklatan itu seakan-akan aku marah besar kepada
Yogha.
“Yogha kenapa kamu menyerah sampai disini? Kamu bilang kamu kuat, kenapa
kamu tega meninggalkan aku sendirian disini? Jawab Gha, jawab.” kataku
ditengah suasana pemakaman yang sepi mencekam. Diam sejenak dan aku
mulai berdoa untuknya.
Tangisku pun semakin menjadi. Tiba-tiba, langit yang semula terang
kini berubah menjadi gelap, dan hujan pun turun menutupi panas terik
siang itu. Serangan butiran hujan begitu deras menyerang wajahku yang
tak sempat ku payungi. Kilatan neon petir menyambar bergantian, serasa
merasuk dalam gendang telingaku dan menghancurkannya berkeping-keping.
Namun, semua itu tak sedikitpun menjadi penghalangku untuk tetap berada
di makam Yogha. Tampak di kejauhan, kakakku memanggilku dengan payung
birunya. Ia menghampiri dan mengajakku pulang.
“Rizma, ayo pulang. Percuma kamu ada disini. Sampai kapanpun Yogha tidak
akan pernah bisa kembali. Coba perlahan kamu ikhlaskan kepergiannya dan
biarkan dia tenang hidup di alam sana dengan setiap iringan doamu.”
tutur lembut kakakku menenangkanku.
“Yogha sendirian disana dan aku ingin sekali menemaninya di dalam tanah
sana, menemaninya dalam kegelapan, kesunyian, dan kedinginan yang
menyerangnya.” jawabku ngawur.
“Ya sudah ayo pulang. Lihat kamu basah kuyup.” ajaknya
Kakakku pun menuntunku untuk pulang, terus ku genggam kalung kenangan
itu. Kuharap selamanya kalung ini akan selalu menjadi sesuatu yang
berarti dalam kisah ini. Tak akan kulepaskan dari leherku. Selamat jalan
Yogha doaku selalu menyertai kepergianmu.
Denting waktu berlalu begitu cepat bagai dawai gitar yang dipetik
dalam irama yang konstan. Melagukan syair suka dan duka. Setahun telah
berlalu dan hari bahagiaku telah tiba. Berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya, ulang tahunku kali ini tanpa kehadiran Yogha. Padahal hampir
tiga tahun kujalani hari bersamanya. Bahkan, dia berjanji akan
merayakan ulang tahunku di kota kelahirannya Magetan, tepatnya di telaga
Sarangan. Namun, janji yang ada tinggalah kenangan kelam yang tak
mungkin terlupakan. Hari ini aku benar-benar bahagia.
Aku sadar bahwa tidak ada gunanya larut dalam kesedihan, demi
memikirkan Yogha yang sudah tiada. Aku punya mereka, yaitu teman-teman
yang masih peduli padaku dan juga keluargaku yang sangat menyayangiku.
Mungkin cintaku kepada Yogha yang sudah membutakan mataku, hingga aku
mudah melupakan mereka semua yang masih ada untukku.
Aku pun duduk di depan kue tart kecil dengan nyala api di atas lilin.
Kubawa melangkah keluar rumah dan kupandangi bintang yang berkelipan di
atas langit sana. Kuucapkan permohonan kecil untuk Yogha dengan
linangan air mata yang telah membasahi pipi. Aku hanya ingin ada sebuah
keajaiban yang akan mempertemukanku dengan Yogha, kembali dalam canda
dan tawa yang abadi dan tak akan pernah bisa hilang keindahannya.
SELESAI
No comments:
Post a Comment