Liontin Kenangan

 On Monday 16 December 2013  

Kriiing… Suara nyaring jam beker pun bernyanyi membangunkanku, kala mentari merekah dengan cahayanya yang keemasan, menerobos dedaunan dan sela-sela pohon hingga ke celah jendela kamarku. Diiringi suara merdu kicauan burung yang siap beterbangan menikmati suasana alam sekitar. Kali ini giliran aku tak dapat membuka kedua mataku karena masih sangat mengantuk. Tiba-tiba mataku terbuka lebar, ternyata jarum jam telah menunjuk angka 06.00 WIB. Bergegas aku lari menuju kamar mandi untuk bersih diri dan segera berangkat sekolah. Hari ini aku mendapat pelajaran bahasa Indonesia, Biologi, bahasa Inggris dan TIK. Bagiku semua materi pelajaran tersebut sangat mengasyikkan. Bel pun telah berbunyi tiga kali tanda pelajaran telah selesai.

Sepulang sekolah aku bergegas pulang karena nanti aku harus kembali ke sekolah pukul 13.15 WIB untuk mengikuti kegiatan ekstra Pramuka. Dengan kegiatan inilah aku bisa hidup semandiri ini, aku juga bisa mengerti dan belajar tentang banyak hal tentang bagaimana cara mempertahankan kehidupan saat kita jauh dari orang tua. Namun sayang, upayaku untuk mempertahankan keikutsertaanku mengikuti kegiatan ini sedikit goyah karena kurangnya dukungan dari ibuku. Dia mengira karena kegiatan Pramuka ini akan mengganggu kesehatan dan prestasiku bisa menurun karena padatnya jadwal latihan. Bahkan, aku dituntut untuk berhenti jika aku sudah kelas IX nanti.
Sesampainya di rumah aku segera makan siang dan mandi. Usai mandi, aku memakai seragam pramuka lengkap dan sedikit berdandan, sebab jika terlalu menor akan percuma terkena panas matahari sehingga akan mudah luntur.
Sebelum berangkat, aku sembahyang terlebih dahulu. Selama sembahyang, aku mendengar suara nyaring ponselku berteriak berkali-kali. Aku mengira kalau itu si Nana yang numpang berangkat Pramuka, jadi aku nyantai-nyantai saja tidak terlalu mempercepat bacaan shalatku. Usai shalat, aku menyegerakan melipat mukena dan menghampiri ponselku yang dari tadi bernyanyi. Aku melihat disitu persis nama David teman Yogha dan juga gitaris band d’Kendhis. “Ada apa ya David telepon aku?” kataku dengan nada keheranan padahal selama kenal dia tidak pernah meneleponku. Tanpa banyak langkah, cepat-cepat kuterima telepon dari David.
“Hallo, Rizma?” sapa David dengan nada tergesa-gesa.
“Hallo juga, Vid. Ada apa? Kok tumben.” tanyaku heran.
“Yogha sudah pulang!!” katanya singkat.
“Emangnya dia darimana, dan pulang kemana?” tanyaku lagi.
“Maksud aku, Yogha telah pergi untuk selamanya meninggalkan kita Riz. Kuharap kamu bisa mengikhlaskan kepergiannya.” jelas David dengan nada sedikit menangis.
“Apa? Tidak mungkin, kamu pasti bercanda. Iya kan, Vid? Yogha itu masih hidup.”
“Rizma, apa suara tangisanku belum cukup untuk membuktikan kalau aku sedang tidak bercanda? Sekali lagi kamu yang sabar ya? Aku tunggu kedatanganmu disini.”
Aku tak bisa menjawab apapun kata-kata David, kuletakkan ponselku dan masih kudengar David memanggil namaku ketika aku terdiam dan menangis. Ternyata seminggu yang lalu adalah pertemuan terakhirku dengan Yogha. Tak terasa air mataku jatuh meleleh di pipi. Langkahku untuk berangkat latihan Pramuka terhenti disini. Inikah yang dimaksud Yogha tentang taman indah yang abadi, yaitu sebuah kematian. Kematian yang membuatnya tidak pernah lagi merasakan sakit yang luar biasa. Kematian yang membuatnya bisa hidup dalam keabadian, dan kematian yang akan meninggalkan kisah mendalam yang telah ada sebelumnya.
Satu bulan kemudian setelah kematian Yogha bulan September lalu, aku masih belum bisa melupakan dia. Dia masih saja menari-nari di otakku bahkan pernah hadir dalam mimpiku sejenak meminta minum. Selain itu, prestasiku di sekolah juga semakin menurun ke peringkat 18, padahal bulan kemarin aku masuk peringkat lima besar. Sehari-hari aku juga masih suka menangis dan menyendiri, tak menghiraukan siapapun yang ada di sampingku. Seakan-akan aku masih belum percaya bahwa Yogha sudah tiada. Anggota keluargaku juga keheranan melihat keadaanku yang semakin lama semakin memburuk.
Saat aku berada dalam kamar, aku mendengar suara kakakku yang sedang ijin kepada ibu untuk membawaku ke Magetan. Aku keluar kamar sambil menangis, ibu pun memelukku. Dia tidak tega melihatku bersedih terus-menerus seperti ini. Meskipun ibuku tak pernah mengijinkan aku berpacaran karena masih usia anak sekolah dan takut mengganggu prestasiku, tetapi aku bandel dan ia pun tahu bagaimana sifat Yogha dari ceritaku. Akhirnya, ibu pun merestui kepergianku untuk melihat kondisi makam Yogha, agar aku percaya bahwa dia sudah menjadi kenangan.
Tangis kecil mengiringi perjalananku menuju tempat peristirahatan Yogha. Kenapa perjalanan ini seperti perjalanan yang menyiksa hati? aku pun tak bisa menjawab semuanya. Kuhempaskan punggungku ke jok mobil sambil terus menggenggam erat kalung berliontin namaku ini karena hanya ini satu-satunya kenangan yang diberikan Yogha kepadaku di hari bahagiaku tahun lalu. Selain itu, dalam liontin kenangan ini tersimpan berjuta cerita yang tak mungkin hilang meski duniaku dan Yogha kini berbeda.
Sesampainya di pemakaman, kakiku berdiri tegak terpancang di depan sebuah makam yang tanahnya terlihat masih basah. Bersimpuhku di hadapan makam Yogha dengan penuh linangan air mata yang begitu deras. Kugenggam erat gumpalan pasir kecoklatan itu seakan-akan aku marah besar kepada Yogha.
“Yogha kenapa kamu menyerah sampai disini? Kamu bilang kamu kuat, kenapa kamu tega meninggalkan aku sendirian disini? Jawab Gha, jawab.” kataku ditengah suasana pemakaman yang sepi mencekam. Diam sejenak dan aku mulai berdoa untuknya.
Tangisku pun semakin menjadi. Tiba-tiba, langit yang semula terang kini berubah menjadi gelap, dan hujan pun turun menutupi panas terik siang itu. Serangan butiran hujan begitu deras menyerang wajahku yang tak sempat ku payungi. Kilatan neon petir menyambar bergantian, serasa merasuk dalam gendang telingaku dan menghancurkannya berkeping-keping. Namun, semua itu tak sedikitpun menjadi penghalangku untuk tetap berada di makam Yogha. Tampak di kejauhan, kakakku memanggilku dengan payung birunya. Ia menghampiri dan mengajakku pulang.
“Rizma, ayo pulang. Percuma kamu ada disini. Sampai kapanpun Yogha tidak akan pernah bisa kembali. Coba perlahan kamu ikhlaskan kepergiannya dan biarkan dia tenang hidup di alam sana dengan setiap iringan doamu.” tutur lembut kakakku menenangkanku.
“Yogha sendirian disana dan aku ingin sekali menemaninya di dalam tanah sana, menemaninya dalam kegelapan, kesunyian, dan kedinginan yang menyerangnya.” jawabku ngawur.
“Ya sudah ayo pulang. Lihat kamu basah kuyup.” ajaknya
Kakakku pun menuntunku untuk pulang, terus ku genggam kalung kenangan itu. Kuharap selamanya kalung ini akan selalu menjadi sesuatu yang berarti dalam kisah ini. Tak akan kulepaskan dari leherku. Selamat jalan Yogha doaku selalu menyertai kepergianmu.
Denting waktu berlalu begitu cepat bagai dawai gitar yang dipetik dalam irama yang konstan. Melagukan syair suka dan duka. Setahun telah berlalu dan hari bahagiaku telah tiba. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ulang tahunku kali ini tanpa kehadiran Yogha. Padahal hampir tiga tahun kujalani hari bersamanya. Bahkan, dia berjanji akan merayakan ulang tahunku di kota kelahirannya Magetan, tepatnya di telaga Sarangan. Namun, janji yang ada tinggalah kenangan kelam yang tak mungkin terlupakan. Hari ini aku benar-benar bahagia.
Aku sadar bahwa tidak ada gunanya larut dalam kesedihan, demi memikirkan Yogha yang sudah tiada. Aku punya mereka, yaitu teman-teman yang masih peduli padaku dan juga keluargaku yang sangat menyayangiku. Mungkin cintaku kepada Yogha yang sudah membutakan mataku, hingga aku mudah melupakan mereka semua yang masih ada untukku.
Aku pun duduk di depan kue tart kecil dengan nyala api di atas lilin. Kubawa melangkah keluar rumah dan kupandangi bintang yang berkelipan di atas langit sana. Kuucapkan permohonan kecil untuk Yogha dengan linangan air mata yang telah membasahi pipi. Aku hanya ingin ada sebuah keajaiban yang akan mempertemukanku dengan Yogha, kembali dalam canda dan tawa yang abadi dan tak akan pernah bisa hilang keindahannya.


SELESAI
Liontin Kenangan 4.5 5 Unknown Monday 16 December 2013 Kriiing… Suara nyaring jam beker pun bernyanyi membangunkanku, kala mentari merekah dengan cahayanya yang keemasan, menerobos dedauna...


No comments:

Post a Comment

Followers

Powered by Blogger.