Mutiara Hati Yang Terlupakan

 On Sunday 19 January 2014  

Bukan orang yang sepandai Albert Einsten. Bukan juga orang yang sekaya Presiden Obama di Amerika. Sederhana, tidak banyak tingkah, lugu, pendiam, itulah diriku. Tidak banyak teman yang kumiliki, ‘sendiri’ itulah yang kujalani setiap hari. Bahkan tidak satu pun orang yang ada dan selalu di sampingku. Belajar, bekerja, berkebun dan membantu Bunda, inilah kegiatan sehari-hariku. Hanya ada satu orang yang membuatku untuk tetap hidup, yaitu Bunda.
Bundaku adalah orang yang paling kuat di dunia ini. Master Limbad saja masih kalah kuat dengannya. Bunda merawatku sejak kecil dengan seorang diri. Dan Ayahku adalah orang yang tidak pernah ku tahu sampai saat ini. Begitu banyak kesulitan yang bunda alami sejak kelahiran diriku. Hal inilah yang membuatku bertekat untuk merubah takdir yang digariskan untuk Bunda dan aku. Menjadi orang yang sukses, itulah cita-citaku. Mengejar dan memburu beasiswa adalah tekat terbesarku. Memang tidak mudah hidup dengan kesederhanaan yang berlebihan.
Desa Kertajemu, Kecamatan Purwoharjo, disinilah aku lahir dan hidup bersama Bundaku. Tidak banyak jalan yang mudah menuju Desaku. Tanah yang licin, dan berhektar-hektar sawah di sekelilingnya. Itulah jalan yang ku tempuh setiap saat agar dapat pergi menuntut ilmu dan menjual beberapa kue di tempat yang lebih pantas. SMA Negeri 1 Purwoharjo, inilah sekolahan yang sudah membawaku ke dalam banyak perubahan. Begitu bangga diriku yang tidak punya apa-apa ini. Karena SMA yang luar biasa ini, sudah menerima dan memperbolehkanku untuk mengganggu sebagian kejayaannya. Walaupun aku tidak pandai, tetapi aku selalu memaksakan diriku untuk menjadi orang yang terbaik. Sehingga tidak sedikit ranjau yang harus ku lewati untuk mendapatkan kemudahan hidup. Tetapi, keyakinanku tidak akan berkurang sedikitpun. Sampai nanti aku akan menemukan jati diriku yang sesungguhnya.
“Suci, cepat ambil kuenya dan bawa bersamamu ke sekolah!”
“Iya Bunda!”
Bunda selalu mengajariku untuk jujur. Bukan hanya jujur perkataan maupun prilaku. Namun, jujur kepada waktu adalah hal yang paling utama.
“Berapa butir kue yang harus Suci bawa hari ini Bun?”
“Hari ini Bunda akan membawakanmu kue yang lebih banyak dari hari kemarin! Karena hari ini akan banyak orang yang membutuhkan kue basah ini.”
“Benarkah?” Aku senang apabila banyak orang yang menyukai kue buatan Bundaku. Dengan begitu Bunda akan mendapatkan penghasilan yang lebih untuk membeli bahan dan beras untuk persediaan makanku. Bunda tidak pernah membuat kue dengan bahan-bahan pengawet. Tetapi, Bunda membuat kue tradisional yang menjadi resep turun temurun dari Nenekku.
“Iya Suci, sekarang kamu harus cepat berangkat! Sebelum pelanggan-pelanggan kita datang!”
“Iya Bunda, Suci berangkat sekarang!” Sambil membawa kue yang di bungkus kotak karton, aku bersalaman dengan Bunda dan minta restu agar hari ini aku diberikan kemudahan.
Di pasar sudah mulai banyak pembeli yang berdatangan. Begitu juga denganku yang bergerak cepat untuk menawarkan kue yang Bunda buat. Bunda bilang hari ini akan ada banyak orang yang membutuhkan kue basah buatan Bunda. Tetapi, hampir 10 menit aku menawarkan kuenya tidak ada satupun orang yang berniat membeli. Aku mulai gelisah, karena sebentar lagi jam sekolah akan dimulai.
“Permisi, apa adik menjual kue basah?” Tiba-tiba ada seorang wanita cantik yang bertanya padaku. Aku kira dia adalah orang yang kaya, pakaiannya saja sangat indah dan rapi.
“Iya, saya menjualnya!”
“Saya beli semuanya. Berapa harganya?” Aku sedikit terkejut mendengarnya. Tetapi, ini adalah suatu kemudahan yang Tuhan berikan padaku. Tanpa berfikir panjang, aku memberikan semua kuenya.
“Semuanya 150 ribu rupiah!” Tetapi, wanita itu memberiku uang 200 ribu rupiah. Aku memintanya untuk menunggu sebentar. Karena aku tidak punya uang kembali, dan berniat untuk menukarkan uangnya.
“Tidak perlu menukarkan uangnya! Ambil saja kembaliannya! Karena saya sedikit terburu-buru!” Wanita itu sepertinya tulus memberikannya, dan aku mengucapkan terima kasih padanya. Dia tersenyum dan berlalu dari pandanganku. Dan aku segera merapikan pakaianku, kemudian bergegas untuk berangkat ke sekolah. Hanya dengan berjalan kaki aku dapat bersekolah, karena uang saku ku tidak cukup untuk membayar angkutan umum.
07.00
Aku berlari sekilat mungkin setelah melihat ke arah jam tanganku. Tetapi semua percuma, karena pintu gerbang sekolah sudah di tutup. Aku juga melihat Mita, teman sebangku ku yang sepertinya sedang adu mulut dengan satpam sekolahanku. Aku berlari mendekati mereka.
“Saya sudah bilang, saya terlambat karena ban sepeda saya bocor!” Mita berkata dengan jujur dan marah.
“Pak, maaf boleh saya masuk sekarang? Tolong bukakan pintu gerbangnya!” Aku mencoba membantu Mita.
Setelahnya aku dan Mita masuk, kami berdua menuju kelas. Tidak heran pelajaran sudah di mulai, karena SMA ini sangat disiplin dan tepat waktu.
Aku selalu memberanikan diri untuk mengetuk pintu dan mengganggu jam pelajaran berlangsung.
“Maaf Bu, kami terlambat. Bolehkah kami masuk kelas?” Aku sangat kawatir apabila tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran.
“Kamu boleh duduk Suci! Kenapa hari ini kamu terlambat Mita? Alasan apa yang ingin kamu buat hari ini?”
“Ban sepeda saya bocor Bu! Jadi terpaksa saya harus berjalan kaki!” Mita bicara dengan menundukkan kepalanya.
“Selalu saja ban bocor yang menjadi alasanmu ketika telat! Membuat saya ragu dengan kamu Mita! Sekarang juga kamu keluar dan tunggu sampai jam saya berakhir!” Bu Tanti guru MTK ku sangat marah dan menunjuk pintu agar Mita cepat keluar dari kelas.
“Saya berkata jujur apa adanya Bu! Tapi kenapa Suci yang setiap hari terlambat selalu dibiarkan untuk tetap mengikuti pelajaran? Kenapa dia tidak pernah mendapatkan hukuman dari BK? Tapi kenapa saya yang selalu jujur harus mendapatkan hukuman? Apa karena dia orang yang paling pandai disini? Apa karena kasihan kepada Suci yang tidak punya apa-apa? Kenapa Bu?” Mita terlihat kecewa dan mulai meneteskan air matanya satu persatu. Aku hanya bisa sedih, karena Mita satu-satunya teman yang selalu ada di dekatku, kini dia mulai menjauh dan membenciku karena kejadian hari ini. Aku harap nanti Mita bisa mengerti apa yang sebenarnya keterpurukan yang aku alami.
“Mita! Pergi ke ruang BK sekarang juga! Kamu sudah sangat keterlaluan pada Suci!” kali ini Bu Tanti benar-benar marah kepada Mita. Setelahnya, Mita berjalan keluar kelas dengan pandangan yang kosong, tanpa memikirkan apa dan siapa yang sedang bicara dengannya.
“Bu, bolehkah saya keluar menemani Mita?” aku takut, Mita akan benar-benar marah padaku.
“Tidak Suci! Kamu harus tetap mengikuti pelajaran! Biarkan guru BK saja yang menenangkan hati Mita!” Bu Tanti tidak memberikan sedikit pun kesempatan kepadaku untuk keluar kelas. Dan dia mulai melanjutkan mengajar pelajaran MTK.
Sejak kejadian hari itu, aku tidak lagi berteman dengan Mita. Banyak juga orang yang membenci dan membicarakanku. Semua itu membuatku terpaksa untuk merubah diri. Tidak ada lagi teman yang dapat ku percaya. Tidak ada lagi senyum yang dapat ku tunjukkan. Tidak juga berbicara pada siapapun. Mungkin keceriaanku sudah mulai memudar. Tetapi, semua itu tidak akan merubah cita-cita ku.
Usahaku tidak pernah berkurang, walaupun kini tidak ada lagi orang yang mampu mendukungku. Semua jalan yang kulalui tidaklah sia-sia. 2 minggu setelah kejadian itu, aku mendapatkan sebuah keajaiban yang tak ternilai harganya. Aku mendapatkan beasiswa di sekolahan ternama di Jakarta. Aku bahagia dengan apa yang sudah ku dapat saat ini. Namun, aku harus meninggalkan Bunda sendiri di Desa kecilku ini untuk mendapatkan kesuksesan itu. Tetapi, semua ini bukanlah apa-apa. Karena Bunda selalu mendapatkan kiriman uang setiap bulannya dari tempatku sekolah di Jakarta. Aku yakin Bunda juga bahagia di Desa sana. Dan aku juga yakin, nanti Bunda bisa ku bawa ke tempatku di Jakarta.
Jakarta bukanlah kota yang seindah Desaku. Panas, kotor dan juga membosankan. Namun, ada satu yang membuatku bangga hidup di Jakarta. Yaitu tugu monas yang sangat luar biasa. Tidak sebentar aku hidup di jakarta, berhari-hari, berminggu-minggu, dan bahkan berbulan-bulan. Tidak sedikit pula uang yang dapat aku peroleh dalam setiap bulan. Dengan uang yang mengalir cepat perbulannya, aku bisa membantu mengembangkan bisnis kue Bundaku. Walaupun aku tak pernah lagi kembali ke Desaku, namun aku masih sering telfon dan mengirim surat untuk Bunda.
Kring… kring..
Handphone ku berbunyi, dan aku segera melihat siapa yang menelfonku.
“Assalamualaikum. Ada apa Bunda”
“Walaikumsalam. Bunda pengen Suci pulang ke rumah! Bunda rindu sama Suci!”
“Maafkan Suci ya Bunda, Suci masih belum bisa pulang! Dan sekarang ini Suci sedang sibuk sekali! Telfon Bunda saya matikan dulu ya?” Tanpa menunggu jawaban Bunda, aku matikan telefon dari Bundaku. Karena aku memang sangat sibuk hari ini. Aku tidak tahu kenapa Bunda ingin Aku pulang. Meskipun begitu, aku tidak pernah ingin tahu. Buat apa harus pulang? Kalau aku sudah bisa sukses dan rutin mengirimkan uang ke Bunda. Apakah mungkin Bundaku menginginkan aku gagal dan terpuruk disana? Pasti tidak akan terjadi seperti itu. Karena aku yakin Bunda akan tetap bahagia di sana sendiri tanpa aku.
Kini aku banyak berubah, dulunya pendiam namun ceria sekarang tidak lagi seperti itu. Memang aku dahulu adalah orang yang lemah dan tidak punya apa pun. Tetapi, sekarang aku punya segalanya, dan aku tidak lagi lemah seperti dulu. Dulu aku selalu bekerja keras untuk mendapatkan 1 rupiah uang, tapi sekarang tidak lagi. Aku hanya duduk dan mendengarkan orang berbicara dan mengulangi kata-katanya. Begitu mudah pekerjaanku saat ini. Semua yang ku makan tidaklah ku beli dengan uangku. Melainkan orang yang sudah menerima jasaku. Itulah aku yang sekarang. Suci yang sekarang bukanlah Suci yang kemarin.
Hari berganti hari, dan aku mulai bosan mendengar Bunda yang setiap saat mengeluh padaku. Itu membuat kepedulianku pada Bunda berkurang. Aku marah pada Bunda, dan tidak lagi mengikuti kata-kata Bunda. Kini aku selalu menentang perkataan Bunda. Telfon dari Bunda juga tidak pernah aku angkat. Dan aku memutuskan untuk melupakan Bunda dan Suci yang dulu. Karena aku sudah bosan hidup menderita seperti dahulu.
Kertajemu, 15 Desember 2012
Untuk Suci anakku
Suci, maafkan Bunda! Bunda selalu memaksamu untuk pulang. Tetapi, Bunda punya alasan, kenapa Suci harus pulang. Bunda takut Suci! Karena setiap hari Bunda dipaksa orang yang tidak Bunda kenal untuk melunasi hutang! Tapi Bunda jujur tidak pernah berhutang pada siapapun. Karena Bunda sudah tercukupi karenamu! Bunda yakin, suci masih tetap rajin sholat dan juga belajar. Tapi Bunda mohon pada Suci, pulanglah nak! Ibumu ini rindu pada mu! Pulang dan lihatlah keadaan ibumu ini nak!
Dari Bundamu
Siti Astuti
Setelah aku mendapatkan surat dari pos, aku langsung membuka dan membacanya. Aku menyesal mendengar semua kesulitan yang Bunda alami disana. Aku menyesal membuat Bunda menjalani kesulitan itu sendiri. Dan aku memutuskan untuk pulang ke rumahku yang sebenarnya.
1 hari berlalu, dan kini aku sudah berada di jalanan yang tidak berbeda dengan dulu. Licin, dan begitu indah padi-padi hijau yang mengelilinginya. Aku mulai mengingat bagaimana dulu aku hidup di Desaku ini. Perlahan aku mulai dekat dengan gubuk jelek dan atap-atapnya sudah mulai rusak. Itu adalah rumahku, tempatku hidup bersama Bunda dan menjalani sulitnya hidup. Aku mulai mendekat dan memberi salam sambil mengetuk pintu. Tetapi Bunda hanya menjawab, dan tidak membuka pintu. Perlahan aku membuka pintu rumah ku sendiri. Setelah pintu itu terbuka, aku melihat seorang ibu yang sedang berbaring lemah di atas tempat tidur. Badannya yang kurus, dan rambutnya yang mulai memutih. Aku tahu, itu adalah Bundaku. Aku mendekatinya dan mencoba untuk tidak meneteskan sedikitpun air mataku. Karena aku ingin Bunda bahagia melihat ku.
“Bunda, maafkan Suci. Suci sudah begitu jahat pada Bunda! Suci kira uang dapat membahagiakan Bunda, tapi ternyata tidak. Semua itu hanya membuat Bunda semakin menderita.”
“Tidak Suci, Bunda bahagia disini! Bunda bahagia bisa membimbingmu hingga sukses seperti ini! Bunda sangat bahagia nak!”
Aku memeluk Bunda dan menangis. Betapa menderitanya Bunda yang sudah mulai tua dengan menanggung beban hidup yang begitu sulit. Aku sangat kecewa, karena aku pernah membantah kata Bundaku. Dan aku menyesal pernah mencoba merubah jati diriku sebenarnya. Ternyata menjadi diri sendiri itu lebih baik dari pada harus melupakan dan menggantinya dengan yang baru. Karena pada akhirnya akan lebih menyakitkan. Bunda, maafkan Suci! Prilaku Suci tidaklah sesuci yang Bunda harapkan. Suci janji mulai saat ini Suci akan kembali pada Suci yang dulu, Suci yang taat pada Bunda dan selalu semangat meskipun pendiam.
Cerpen Karangan: Fryska Ayu Winanthi
Mutiara Hati Yang Terlupakan 4.5 5 Unknown Sunday 19 January 2014 Bukan orang yang sepandai Albert Einsten. Bukan juga orang yang sekaya Presiden Obama di Amerika. Sederhana, tidak banyak tingkah, lugu,...


No comments:

Post a Comment

Followers

Powered by Blogger.