Malam Berkabut Putih

 On Monday 27 January 2014  

Keheningan ini menciptakan sebuah kesunyian yang menyayat kalbu. Ku coba resapi lagi nafas yang masih memburu ini. Ku coba mengheningkan betapa malangnya nasib pagi ini. Aku berlari menerobos pagi yang tak bersalju, aku berlari tanpa henti untuk sedikit menarik nafas pun TIDAK. Serigai tak bersahabat itu ku lihat pagi ini, mengapa aku masih harus berjumpa dengan sang takdir buruk? Sesedih ini kan nasib diriku?

Aku berhenti berlari. Berdiri terpaku menatap bayanganku sendiri. Dimana aku berpijak disitu kamu bersua. Sekian lama terdiam membuatku tak mampu mengangkat kepala memandangimu. Mengapa kamu marah? Mengapa memandangiku bagaikan aku adalah seekor keledai bodoh yang jatuh dalam sumur dalam di tengah ladang?
“Apa yang kau lakukan, Laurent? Kau mengejek ku dengan tatapanmu itu?” Tanya Gadis itu sembari mengikat ransel di bahunya, Gadis yang menyukai gunung.
Aku mengeleng. Lambat laun aku mulai melangkah meninggalkan bayanganku dan gadis penyuka Gunung itu. Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki mendekat kearahku. Dan gadis itu telah berada di sampingku, memandangku dengan pandangan aneh yang tak dapat kuartikan.
“Kau jogging? Aku baru melihatMu,” Runtuk Gadis itu seakan tak suka akan kehadiranku.
Aku mengangkat bahu dan hanya terdiam. Dia nampak kesal dengan responku, karena ia segera berbelok menuju gunung tanpa peduli pagi buta yang berkabut dan dingin. Tanganku menarik lengannya untuk kembali.
“Kenapa lagi?” Tanyanya dengan suara berat. Aku melepaskan tanganku, lalu berjalan ke arah pohon mapple di ujung jalan.
“Aku tidak mungkin membiarkan mu menaiki gunung berbahaya itu. Ini masih pagi buta, keadaan gunung bisa menelan nyawamu.” Sahutku tegas, sembari duduk pada kursi di bawah pohon mapple.
“Apa? Mati pun aku tidak peduli, Laurent. Toh, tak ada yang peduli,” Perkataannya tercegat olehku.
“Lalu apa aku juga tak peduli akan nyawamu? Aku melarangmu karena aku tak ingin kau mati percuma,” Ujarku memotong perkataannya.

Akhirnya gadis itu melepaskan ranselnya dan duduk di sampingku. Ia nampak lebih santai dibandingkan semenit yang telah berlalu.
Gadis penyuka gunung itu bernama Vingy, ia adalah sepupuku. Ayahku menikah lagi dengan Saudara perempuan Ibu Vingy. Sebenarnya kami tinggal bersama dalam satu rumah namun karena sikapku yang terlalu dingin dan sikapnya yang terlalu sinis, membuat Vingy memutuskan untuk kembali ke rumah Ibunya.
Vingy menyengol lenganku. Katanya, “Tumben serius? Bukan Laurent itu,” Katanya mengejek.
Aku menelan ludah. Aku mencoba menahan gejolak dadaku agar tak berbuat sebuah kesalahan serius. Dan terpaksa aku hanya terdiam. Vingy mendorong lenganku dengan kasar membuatku teerjungkal tetapi untung saja jemarinya dengan cepat menangkap rak bajuku.

Kami saling tatap dalam sebuah pandangan yang telah lama ku nantikan. Aku merindukannya! Vingy menarikku kembali duduk dengan normal, ia lalu merongoh saku mantel tebalnya dengan salah tingkah. Aku mengambil kesempatan untuk sekali lagi memandangi wajahnya, wajah yang paling kurindukan.
“Aku akan kuliah di Colorado, Laurent. Bulan depan aku berangkat,” Tuturnya. Aku menghelakan nafas berat. Aku memang sudah tahu akan rencanya itu dan mungkin itu lebih baik untuknya.
“Pergilah.” Gumamku.
Kami terdiam cukup lama, saling terhanyut dalam pikiran masing-masing, hingga tiba-tiba terdengar isak tangis menulikan telingaku. Vingy menangis pilu sembari menutup wajahnya dengan tangannya. Gadis ini kenapa lagi?
“Aku tidak ingin meninggalkan Inggris. Negara ini banyak memgandung kisah-kisah indahku yang kapan saja akan dilahirkan,” Isaknya.
“Dan aku juga tidak mampu meninggalkan kamu, Laurent.” Tutur Vingy yang membuatku nyaris menariknya ke dalam pelukanku, tetapi aku menahan niatku agar ia melanjutkan penuturannya.
“Aku nggak ingin beribu hari yang kita habiskan dengan kebisuan, masa bodoh dan kebohongan ini berakhir. Aku tidak ingin semua ini berlalu dalam gelapnya Malam yang kelam. Aku menyukaimu, Menyukai priadimu yang serius, dan semua yang ada tentangmu. Tetapi karena mengangap perasaanku impossible aku pun bersikap keras dan cuek bebek padamu, terkesan seperti aku ingin sekali memusuhimu. Tetapi sebenarnya tak begitu, Laurent.” AkuNya tak berhenti menagis.
Dan dengan keberanian aku menarik kepalanya ke dalam dekapanku. Membawanya merasakan degupan jantungku yang dasyat karena dirinya. Membawanya bersandar untuk pertama kalinya dalam cintaku.
“Aku pun demikian, Vingy. Aku pun mencintaimu.”
Dan kami-pun berpadu dalam ciuman mesra yang tak pernah kurasakan bersama gadis manapun dan dialah gadis pertama yang merebut hati, nyawa dan segalanya dalam hidupku.



Huh, lagi-lagi bayangan masalalu. Aku mengusap peluh yang berjatuhan di wajahku. Lalu segera bangun untuk bergegas menuju kantor.

Sudah 3 tahun berlalu sejak kepergian Vingy, aku tak pernah sedikit pun melupakan kejadian pagi itu. Dan kini ia tak lagi ada di sisiku seperti saat itu, Ya karena ia telah jauh di Colorado.

Kini aku bekerja pada sebuah perusahan berita, Di Inggris. Aku adalah seorang editor koran berita di perusahaan itu.
“Kau sudah dengar kabar, Lex?” Tanya Nisart padaku saat aku berhasil membuka komputer di ruangan kerjaku. Nisart, teman dekatku di kantorku ini selalu menantiku saat pagi.
“Json akan bertukar cincin.” Kata Nisart pendek.
Json Swift, Teman seperjuanganku, namun ia kini menyandang jabatan tertinggi di perusahaan karena ia memang adalah pewaris perusahaan. Json selalu beruntung dalam segala hal. Ia punya keluarga yang harmonis, kedudukan yang baik, dan pastinya sebentar lagi memiliki calon istri yang, Cantik.
“Siapa gadis beruntung itu?”
“Dianne, Gadis Colorado.”
Aku termenung mendengar jawaban itu. Colorado? apa ia Vingy? Ah, tidak mungkin. Nama Vingy adalah Vingy Jannyfer, lagipula ia Gadis inggris kok. Aku harus melupakan Vingy.
“Kapan?”
“Acaranya? Besok malam,”
“Cepat sekali, apa tidak terlalu cepat?”
Nisart menangkat bahunya. Katanya, “Kenapa kau bertanya seperti itu padaku? Aku tidak pernah tahu soal itu, Json tak pernah bercerita apa-apa pada kita kan? So, aku tidak tahu soal cepat atau lambatnya, yang aku tahu: Aku bahagia mendengar ini.” Tuturnya sembari menyentuh dokumen-dokumen ku.
“Setuju. Bagaimana kalau kita beri Json pelajaran?”
“Pelajaran? Atas apa?”
“Atas ini semua,”
“Ok lah aku mengerti tetapi jangan berlebihan, aku tidak mau kita dipecat auntceli,”
Kami pun tertawa terbahak-bahak melupakan keseriusan.

Perlahan kurasakan angin berhembus di wajahku, Kutarik nafasku lalu berjalan memasuki Hotel mewah di tengah kota yang menjadi tempat pertunangan antara Json dan Dianne, kekasihnya. Hotel berbintang lima yang aslinya mewah kini bertambah mewah lagi karena bertaburan bintang-bintang hias di langit-langit ruangan resepsi dan wajah-wajah elit berpakaian layaknya menghadiri pernikahan kerajaan. Aku bergegas mencari Nisart dan Json serta Dianne, tunangannya nanti. Tetapi aku tak perlu berkeliling untuk mencari karena kini aku melihat Nisart tengah berdiri berdampingan dengan Json, Segera ku hampiri mereka dan menyodorkan segelas anggur pada Nisart.

“Hey, Selamat ya atas pertunanganmu.” Kataku sembari menjabat tangan Json. Ia tertawa renyah membalas jabatanku.
“Dianne, sini.” Teriak Json pada seorang wanita bergaun hitam kelam dengan berlian bertaburan dimana-mana, gadis itu terlihat seperti langit malam beraburan bintang. Dari jauh aku dapat melihat senyum berkembang di kedua sudut bibir gadis itu. Ia lalu berjalan anggun ke arah kami.
VINGY!
Aku sesak nafas saat wanita itu berdiri tepat di depanku. Wanita yang selalu ku rindukan. Wanita yang selalu ku nantikan. Wanita yang dulu pernah bilang mencintaiku. Tetapi itu dulu, bagaimana dengan sekarang? Lihat! ia dengan anggunnya memakai gaun malam untuk menyandang kebahagiaan yang tak pernah buat diriku. Lalu apa yang aku harapkan dari wanita ini?

Jemariku lemas hingga tak mampu menahan gelas di tanganku. Vingy mungkin sama kagetnya dengan diri ini tetapi ia tak berbuat apa-apa, ia tak mencoba menjelaskan semuanya padaku. Json mengenalkan Vingy pada kami sebagai Dianne. Mengapa ia memakai identitas palsu? Apa agar aku tak mengenalinya? Huh, alasan yang tidak logis.

“Dianne,”
“Nisart,”
“Dianne,”
“Lexia,”

Kening Vingy agak berkerut saat ku sebutkan namaku. Ia pasti bingung mengapa aku memakai nama dari ibu tiri ku. Kami masih saling menatap dengan jemari masing-masing yang masih berjabat.
“Jemari kalian penuh lem?” Suara Nisart menyadarkan kami. Aku dengan sedikit kesal menaruh kembali gelas anggur pada meja. Vingy masih saja menatapku tanpa perlu repot-repot mendengar cerita Json tentang kami – Aku, Nisart dan Json.
“Maaf, aku harus pergi sebentar,” Pamitku dan langsung berjalan cepat meninggalkan mereka yang masih meneriaki namaku.
Aku tak peduli apapun saat ini, yang aku peduli hanyalah airmata ini yang terus mendesak agar keluar dari kurungannya. Aku berjalan menuju taman kecil di samping kolam renang, taman yang nampak sepi, berkabut dan gelap. Aku ingin berteriak sekuat mungkin. Ingin dunia tahu bahwa aku telah tersakiti.

Malam yang kelam, dengar aku. Aku harap ini hanyalah mimpi namun semuanya masih terasa mendalam bahkan tak tersisa cela sedikit pun untuk aku berharap. Aku menangis sembari meninju wajahku sendiri dengan kepalan tanganku. Ini tak adil! Mengapa kau tidak mengirim berita, bahwa kau sudah menemukan pilihan hati mu hingga tak membuatku menunggu dan berharap seperti ini, Vingy.

“Aku minta maaf, Laurent. Aku tidak bermaksud menghianati perasaanmu.” Suara lebut itu membagunkanku dari emosi dan kesedian. Vingy mengikutiku! Wanita itu memelukku erat tanpa takut Json ataupun orang lain melihat tingkah laku kami. Pelahan suara isakkan mulai terdengar.
“Kalau aku menyakitimu sama saja aku menyakiti perasaanku. Dulu dan sekarang perasaanmu tidak sedikit pun bergeser dari tempatnya, walaupun ada Json di sampingku,”
“Aku bertemu Json 2 tahun yang lalu, saat dia hendak menjalin kerja sama dengan perusahanku di Colorado. Aku tidak bisa menolak cintanya karena dialah yang menghidupkan perusahaanku yang hampir bangkrut. Aku tahu aku salah melakukan hal itu, tetapi kau tahu kan, Laurent? kalau hanya aku tumpuan keluarga ku, kalau perusahaanku bangkrut, bagaimana kehidupan keluarga ku selanjutnya?.”
“Aku terus memikirkan kapan kita bertemu, sampai suatu hari, Json menawarkan untuk bertunangan. Awalnya aku menolak tetapi setelah mendengar bahwa Inggrislah yang akan menjadi kota tunangan itu, aku jadi bersedia,” Isaknya sembari menarik bajuku menutupi wajahnya. Lalu ia melanjutkan. “Itu karena aku ingin bertemu denganmu agar kita dapat membatalkan pertunangan ini. Namun semuanya gagal karena aku tak mendapati keluargamu dimana-mana, Aku tanya pada keluargaku, tak ada satu pun yang mau membuka mulutnya. Dan akhirnya inilah yang terjadi, Laurent.” Sesalnya.
Aku berhenti menangis dan mengangkat wajahnya dengan jemariku. Kataku, “Aku tak memaksa, aku merelakanmu. Tetapi yang harus kamu tahu, bahwa selama 3 tahun ini aku tak pernah sedikit pun melewati hari-hariku tanpa memikirkanmu. Aku selalu dan selamanya mencintaimu.” Segera kuhapus airmatanya sembari tersenyum pasrah.
“Pergilah, Json menantimu. Aku akan tetap disini, menemani malam kelam ini. Jangan kau sayangi diriku yang miskin dan malang ini. Pergilah, Dinda.”

Selesai

Cerpen Karangan: Bunga Salju
Malam Berkabut Putih 4.5 5 Unknown Monday 27 January 2014 Keheningan ini menciptakan sebuah kesunyian yang menyayat kalbu. Ku coba resapi lagi nafas yang masih memburu ini. Ku coba mengheningkan...


No comments:

Post a Comment

Followers

Powered by Blogger.