Biarkan Pergi

 On Thursday 30 January 2014  

Binar-binar hujan itu masih ada, agaknya ia masih ingin berderai meninggalkan hawa dingin dari yang sedang hingga menusuk tulang, meninggalkan sepi dan perlahan meninggalkan keheningan malam. Malam ini agaknya berbeda bagi Rara, ada kesedihan terselip di bagian hatinya. Gadis dengan rambut diikat kuda itu masih tetap setia duduk di samping ranjang rumah sakit, menemani sang Ayah yang kini tergolek lemah seakan kehabisan tenaga. Bau khas rumah sakit merebak hingga menusuk indra penciuman Rara, dilihatnya tangan kekar itu dilengkapi selang infuse dan terdapat satu tabung oksigen di sisinya.
Dua hari lalu, Renaldi —ayah Rara harus dilarikan ke Rumah Sakit akibat penyakit Diabetes yang diderita beliau. Penyakit yang semakin lama semakin menjadi. Kurang lebih tiga tahun lamanya tubuh Renaldi harus bersahabat dengan penyakit bodoh itu. Perbedaan yang mencolok terlihat dari tubuh Renaldi yang dulu berisi kini seperti tinggal tulang saja, sangat kurus. Rara tak tega melihat kenyataan yang harus dijalani sang Ayah, jika ia ingat perjuangan sang Ayah yang harus tertatih hingga menemukan kata sembuh. Seperti luka lama yang kembali terkuak. Bagi Rara cerita itu akan selalu membekas di hatinya. Yang tak pernah Rara lupa Ayahnya selalu berusaha terlihat baik-baik saja. Di balik senyum simpul yang sebenarnya menyimpan kata lelah, lelah lahir dan lelah bathin.
Di ruangan yang tak terlalu besar itu hanya ada mereka, ditambah kesunyian yang disuguhkan sang hujan, namun Rara selalu merasakan ketenangan saat hujan menyapanya. Rara beranjak dari duduknya, dan menoleh sebentar ke arah Renaldi, wajah menenangkan itu telah terlelap. Di mana ketentraman itu ada di alam mimpinya. Rara menghampiri jendela kamar rawat Ayahnya, dibukanya sedikit gorden hijau yang menutupi jendela itu. Rara menengadah sebentar, hujan, kau masih setia. Mungkinkah alam juga ikut berempati melihat keadaan Ayah? Pikir Rara. Senyuman itu akhirnya terukir walau hanya di sudut bibir merah Rara. “Aku harap hari esok akan lebih baik.”

“Ra, bangun. Kakak bawakan sarapan untukmu dan Ayah.” Suara khas perempuan menyelusup masuk ke telinga Rara, membuatnya sedikit bergeming. Ia menegakkan badannya, mengucek kedua matanya lalu mengerjap-ngerjapkannya. Di hadapannya telah berdiri perempuan yang ia sebut Kakak. Agaknya nyawa-nyawa Rara masih berkeliaran dan menunggu untuk kembali. Resa —kakak Rara, menyodorkan 1 mangkuk bubur ayam yang langsung membuat perut Rara bersorak.
“Terima kasih, Kak untuk buburnya,” Rara tersenyum “Kakak kapan pulang?” Rara membenarkan posisi duduknya, dan mulai menyantap sarapan paginya.
“Satu jam yang lalu. Ayah kelihatan nyenyak sekali.” Resa mengalihkan pandangannya ke arah Renaldi. Tak ada firasat apapun. Sebenarnya tak tega membangunkan Ayah, namun apa boleh buat, Ayah harus sarapan dulu. Waktu pagi yang bagus untuk mengisi tenaga. Pikir Resa.
“Ayah…” panggil Resa lembut, tangannya sedikit mengguncang-guncangkan tubuh Renaldi.
“Ayah…” panggilnya lagi, hingga beberapa kali. Namun, apa? Renaldi diam, tak ada respon, gerakan kecil atau yang lainnya. Resa gemetar, begitupun Rara yang antusias di samping kakaknya itu sehingga mengacuhkan bubur ayam yang baru dilahapnya beberapa suap.
“Kak, ayah kenapa?” Tanya Rara polos. Resa menggeleng lemas. Ia mendekat dan mencoba merasakan detak jantung dan helaan napas Renaldi. Nyatanya sudah tak ada lagi tanda-tanda beliau masih hidup. Jantung Resa kini saling berpacu, berdebar layaknya tabuhan drum, mata bulat itu berkaca-kaca. Ia menatap Rara sesaat, dia mengerti. Tapi, apakah Rara akan mengerti juga? Resa tak tahu bagaimana harus menjelaskannya kepada adik sematawayangnya itu.
“Kak, kenapa? Ayah baik-baik saja kan? Ia hanya terlalu lelah dan akhirnya terlalu lelap tertidur? Begitu bukan? Ya sudah, biarkan saja. Aku tak tega jika harus membangunkan Ayah.” Resa tertunduk,
“Kita panggil saja dokter,” balas Resa dengan nada suara lemah.
Ia berlalu untuk memanggil dokter. Tak lama, ia kembali bersama pria dengan jas putihnya itu. Dokter terlihat mengecek kondisi Renaldi yang memang sudah ‘tak ada’.
Rara tertegun, matanya terbelalak, begitu saja ia menepis tangan Dokter yang hendak menutup seluruh tubuh Renaldi dengan kain putih. “Apa yang dokter lakukan? Dokter sudah gila! Ayah hanya sedang tidur. Apa dokter mau membunuh ayahku?” bentak Rara yang ikut membuat Resa terkejut.
“Sabar, ya, Nak. Ayahmu sudah meninggal dunia.”
“Dokter mengada-ngada. Mana mungkin! Kak, bohong kan yang dibicarakan Dokter itu? Bohong kan?” Rara tersenyum sinis sambil menatap tajam mata kakaknya. Resa memegang tegar pundak adiknya.
“Benar apa yang dikatakan Dokter. Ayah sudah meninggal, Ra.” Rara menatap kosong ke depan, rahangnya terasa mengeras, bibirnya bergetar, matanya memanas. Ia TAK PERCAYA!
“Tidak mungkin kak. Ini bohonggg…” Teriak Rara histeris. Rara berjalan lunglai menghampiri Ayahnya, ia mengguncang-guncangkan tubuh tak bernyawa itu.
“Ayah bangun, Yah. Ayah tak mungkin pergi. Iya, kan? Ayah sudah janji bukan akan mengajakku jalan-jalan? Dan mana janji Ayah sekarang? Ayo, Ayah… banguuunnn. Kumohon! Buktikan ucapan mereka salah Ayah…” ucap Rara terisak. Ia yakin ini hanya kesalahan. Resa memegang pundak Rara, air matanya berderai.
“Ikhlaskan Ayah Ra. Sabarkan hatimu.”
“Kakak itu salah! Aku tak percaya.!” Tubuh Rara terasa semakin melemas, hingga kakinya tak dapat menopang berat tubuhnya. Apapun yang ia lihat tiba-tiba menggelap dan hitam pekat.
“Rara…”

Hingga jasad Renaldi akan dikuburkan, Rara tak kunjung sadarkan diri. Resa menatap iba wajah adiknya itu, ia mengerti Rara begitu shock hingga ia tak mau percaya pada takdir yang telah terjadi. Resa membiarkan adiknya itu benar-benar tenang di alam bawah sadarnya. Jenazah segera diantarkan ke tempat pemakamam. Matahari siang menyambut rombongan yang ikut mengantarkan Renaldi ke tempat peristirahatan terakhir, tempat semua yang bernyawa akan mati. Agaknya cuaca pun mendukung. Resa berdiri berdekatan dengan liang lahat Ayahnya, menyaksikan proses demi proses penguburan pria yang akan selalu dikenangnya, hingga akhirnya tanah merah itu menimbun jasad kaku Renaldi. Bait-bait doa Resa lafadzkan, butiran hujan itu kembali menumpuk di sudut matanya hingga akhirnya ia tumpahkan. Bunga segar nan wangi ia taburkan. Rasanya kakinya berat untuk meninggalkan. Resa tersenyum mencoba ikhlas. “Ayah, semoga engkau bahagia di sana. Ya Allah, ampunkanlah dosa-dosa Ayah, terimalah ia di sisiMu,” lirih Resa dalam doa yang akan selalu ia untaikan di setiap sholatnya.
Satu minggu berlalu…
Rara berubah, ia menjadi pribadi yang pendiam dan banyak melamun. Terkadang menjadi sosok yang mudah marah dan tersinggung. Nilai-nilainya di sekolah pun menurun. Rara mencoba mendengar apa yang dikatakan kenyataan, tapi entah… hati dan logikanya menolak. Rara masih menganggap Ayahnya masih hidup. Masih bersamanya, seperti dulu. Resa sudah berusaha bicara, menyadarkan Rara, berharap Rara segera tersadar bahwa keyakinannya adalah salah. Mungkin memang hal yang sulit bagi Rara menerima kenyataan yang tergores jelas. Rara memang sangat dekat dengan sang Ayah, ia tak bisa jauh dari Ayahnya. Resa dan Rara sudah ditinggal sang Ibu setelah Ibunya melahirkan Rara. Ia begitu manja jika di dekat Ayahnya, sikapnya jadi kekanak-kanakan. Dan Rara sangat sangat menyayangi Ayahnya. Renaldi selalu memaklumi sifat anak keduanya itu. Ayah terhebat di mata Rara. Dan satu ketakutan, Rara lebih takut kehilangan Ayahnya dibanding bumi runtuh sekalipun.
“Ra, sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Ikhlaskan, Ra. Ikhlaskan! Kamu tidak kasihan kepada Ayah, Ayah pasti akan sangat sedih. Kepergiaannya akan terasa berat. Ayah bukan milik kita seutuhnya. Ada yang lebih berhak dari kita.”
“Kak, kakak itu bicara apa? Ayah masih ada. Dia masih hidup!. Ayah hanya pergi untuk sementara. Dan akan segera kembali. Aku yakin itu!” balas Rara sambil berlalu ke dalam kamarnya. Resa hanya mampu menghela napas berat.
Di sekolah…
Andine menghampiri Rara yang sedang asyik membaca komik kesukaannya. Ia lantas duduk di bangku kosong di samping Rara. Bangku yang memang tempat duduknya.
“Ra, nilai-nilai kamu kok pada turun? Kenapa?” Andine mengawali pembicaraan.
“Hmm, aku terlalu capek, Dine,” jawab Rara sekenanya tanpa beralih dari komiknya.
“Hmm.. oh iya, aku turut berduka cita ya atas meninggalnya Ayahmu. Yang sabar, ya, Ra. Kamu jangan terlalu larut dalam kesedihan. Semua pasti ada hikmahnya dan memang inilah yang terbaik.” Mendengar omongan Andine, Rara langsung mengalihkan pandangannya kepada gadis berkacamata itu, pandangan tak suka.
“Kamu ngomong apa, sih, Dine? Kamu mendoakan Ayahku mati, begitu? Kenapa semua orang bicara seperti itu. Ayahku masih hidup!. Apa semua orang membenci Ayah, hingga semua orang berbicara hal yang sama?.” Rara beranjak dari duduknya. Andine menatap Rara aneh diikuti lipatan halus di keningnya.
“Lho, kok kamu malah marah, Ra? Aku hanya…”
“Ah… sudah. Semua orang memang jahat!”
Rara menagis ‘lagi’ di taman belakang sekolahnya, tempat yang Rara anggap pas untuk menyendiri. Mengapa semua orang berkata jika Ayahnya telah tiada? “Tidak!” Rara menggeleng. “Ayah masih hidup!” bathinnya. Mereka hanya iri melihat Rara mempunyai Ayah sehebat Renaldi. “Aku merindukan Ayah. Ayah cepatlah kembali. Buktikan pada mereka, Ayah masih hidup. Cepat kembali Ayah..”

Rara duduk di depan teras rumahnya dengan memajukan sedikit bibirnya ditemani Resa yang sedang asyik dengan kegiatan barunya, yaitu merajut sebuah taplak meja. Keahlian merajut yang ia dapat dari sahabat karibnya itu.
“Kak, kenapa semua orang termasuk teman-temanku di sekolah bilang jika Ayah sudah meninggal? Kenapa mereka jahat berkata seperti itu?” Rara mengulang pertanyaan yang masih mengganjal di otaknya. Resa mengalihkan pandangannya, rasanya hatinya pilu mendengar apa yang baru saja adiknya ucapkan. Rara belum sadar, dan akhirnya Resa memilih diam.
“Kak, kapan Ayah akan pulang? Aku sudah sangat merindukan Ayah?” Tanya Rara dengan wajah mendung. Resa kembali terdiam. “Ya Tuhan..” bisiknya.
“Ayah takkan pernah pulang sampai kapanpun, biarkan Ayah pergi dengan tenang, Ra. Kasihan Ayah,” Resa merasa sudah putus asa memberi pengertian kepada Rara.
“Kakak memang sama dengan mereka. Aku tak mengerti. Sungguh!”
“Kamu harus belajar untuk mengerti, Ra. Dunia ini bukan milikmu, termasuk Ayah. Coba mengerti!” Resa berlalu dengan air mata yang tiba-tiba saja turun lagi.

Rara terbangun dari tidurnya, merasakan sesuatu telah mengusik lelapnya. Rara meyipitkan matanya melihat sekelabat cahaya putih menerobos jendela kamarnya. Rara sedikit takut, tapi ia penasaran dengan apa yang terjadi di luar sana. Kedua kakinya melangkah menghampiri jendela kamarnya. Dan… sreekkk… Rara terjerembab ke sesuatu tempat, tempat asing di dalam penglihatannya, tempat sunyi seperti hanya ada dirinya di sini. Namun, Rara tak dapat berbohong. Ia takjub dan jatuh cinta dengan tempat berupa taman yang indahnya Subhanallah, tempat yang Rara yakin takkan ia temukan di bumi. Tunggu… di bumi? Lalu ini di mana? Rara berdiri dan berjalan perlahan menyelusuri tempat aneh itu.
Telinganya samar-samar mendengar seseorang sedang terisak. Ia berjalan lagi dan lagi hingga seseorang itu di depan matanya. Mata yang seketika berbinar layaknya kerlap-kerlip bintang.
“Ayah…” lirih Rara sumringah. Pria yang benar-benar adalah Ayahnya. Ayah yang dirindukan Rara. Rara mendekat, ia ingin memeluk sang Ayah, namun seperti ada yang berbisik. “Jangan dulu.” Rara menuruti itu. Ayahnya menoleh, menatap mata anaknya. Mata berbinar itu seakan meredup melihat orang yang teramat Rara sayang menangis di hadapannya.
“Ayah, mengapa Ayah menangis?”
“Ayah menangis karenamu, Nak.”
Rara tersentak. “Apa salahku Ayah? Maafkan aku telah membuatmu menangis.”
“Rara sayang pada Ayah?” Tanya Renaldi.
“Ya, aku sangat menyayangi Ayah.”
“Jika Ya. Ikhlaskan kepergian ayah, Sayang. Ayah harus pergi karena Ayah telah di panggil Tuhan. Rara mengerti?” Rara tertuduk.
“Jadi apa yang dikatakan mereka benar?”
“Ya, Sayang. Melihatmu tak bisa merelakan Ayah membuat langkah Ayah untuk pergi terasa berat. Jika memang Rara sayang Ayah relakan Ayah untuk pergi. Tuhan begitu menyayangi Ayah begitupun Rara. Ayah memang tak bisa menjaga Rara seperti dulu, tapi ada Allah yang selalu menjaga Rara dan Kak Resa. Ayah memang takkan bisa Rara sentuh dan Rara lihat. Tapi, Ayah akan selalu bersama Rara. Karena Ayah akan selalu tinggal di hati Rara. Doa yang akan selalu menghubungkan kita. Ibu, Ayah, Rara dan Kak Resa.” Butiran-butiran bening itu meluncur mulus melewati lekukan pipi Rara. Rara merasa salah. Renaldi mengusap air mata itu dengan tangan kekarnya, begitupun Rara yang mengusap sisa-sisa hujan yang mengering di pipi Ayahnya itu.
Kini selengkung pelangi anggun dan cantik menghiasi bibir keduanya.
“Boleh aku memeluk erat Ayah untuk terakhir kalinya?” pinta Rara. Renaldi mengangguk.

Kelopak mata Rara terbuka, ia menggerakannya ke kiri dan ke kanan. Bibirnya yang lama tak tersenyum telah kembali. “Ayah.. maafkan aku,” lirih Rara. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya lalu menuju meja makan, Resa sedang menyiapkan sarapan pagi untuk mereka berdua. Resa menyadari kehadiran Rara di belakangnya.
“Ayah, Kak…” omongan Rara menggantung. Resa menatap Rara dengan menebak-nebak. Apa yang akan dikatakan Rara kali ini?
“Ada apa dengan Ayah?”
“Aku tahu selama ini aku terlalu salah, ayah sedih karena melihatku seperti saat itu. Aku sudah ikhlas merelakan Ayah pergi. Aku tahu Ayah bahagia di sana,” jelas Rara dengan mata yang berkaca-kaca. Resa tak percaya dengan apa yang diucapkan adikya itu. Alhamdulillah.
“Syukurlah, terima kasih Ya Allah,” syukur Resa. Kakak beradik itu saling berpelukan. “Ayah pasti tersenyum di sana. Aku menyayangi Ayah, selamanya,” bathin Rara.
Ayah, kau memang pahlawan pertama yang dikenal anak-anakmu. Bagiku kau adalah sosok lelaki terbaik, terhebat, dan sempurna. Semua memang terasa sangat berbeda, aku tak dapat lagi melihatmu, menyentuhmu, atau memelukmu. Tapi, satu hal yang akan tetap sama kau selalu tinggal di hatiku. Ayah, kau kisah terindah yang diberikan Tuhan untukku.

THE END
Cerpen Karangan: Siska Nurtika Aryani
Biarkan Pergi 4.5 5 Unknown Thursday 30 January 2014 Binar-binar hujan itu masih ada , agaknya ia masih ingin berderai meninggalkan hawa dingin dari yang sedang hingga menusuk tulang, mening...


No comments:

Post a Comment

Followers

Powered by Blogger.