Sampul Hitam Cinta

 On Monday 16 December 2013  

Sore yang sejuk dengan angin semilir dan sisa-sisa sinar mentari yang terpantul dari beningnya air sungai memancar lembut lewat ventilasi jendelaku dan pintu yang sedikit terkuak. Burung pun pulang ke sarangnya, menciptakan fraksi-fraksi beraneka bentuk lalu menukik ke bawah hinggap pada pohon-pohon hijau besar nan menjulang di hulu sungai. Benar benar menenangkan pikiranku. Lalu ku arahkan sudut mata ke hulu sungai itu terlihat dua sejoli sedang bermain gemiricik air sungai, berlari di atas bebatuan sungai dan bercanda, tertawa tanpa beban. Mata mereka memancarkan butir asrama yang tengah dipadu. Wajah laki laki itu sepertinya aku kenal, perempuan cantik yang tengah bahagia itu rasanya aku juga tahu, Sungguh membuatku terlupa akan kehidupan, terus ku pandangi indahnya cengkerama mereka. Tapi dua helai anak rambutku terjatuh tertiup angin semilir tepat di depan mataku, menghalangi pandanganku.
“Huft” Ku tiup satu dua helai anak rambut ini. Menjengkelkan. Ku tiup lagi tapi tetap saja dua helai anak rambut itu tak beranjak dari tempatnya, sungguh menggangguku. Harus aku apakan lagi, ku pegang anak rambut itu, mungkin lebih baik aku hilangkan ia dari pandanganku. Sudah aku tarik kuat-kuat tapi tidak juga ia hilang. Ku ambil lebih banyak rambut lagi, ku pikir akan lebih mudah menghilangkan rambut sialan ini dari wajahku.
“Sin… sudah, hentikan.. apa yang kau lakukan. Kenapa kau renggut rambut kau?” Suara ibu mengagetkanku. Tapi hanya untuk beberapa menit, karena rambut itu justru semakin menganggu wajahku.
“Ibu bilang hentikan” Ibu membentakku. Memegang tanganku untuk menjauh dari rambut pengganggu itu.
“Nn, .. n.. dd.. aa.. kk..” Aku memberontak, ku arahkan tinjuku ke seluruh penjuru, saat ibu berusaha memeluk dan menenangkanku.
“Ibu, ganggu..” Teriakku sambil mendorong ibu dengan sekuat tenaga untuk menjauh dariku. Tubuh ibu yang kurus mudah saja bagiku membuat ibu terpental ke sudut kamar.
“Nak.. mal..ang sekali nasibmu.” Oceh ibu dengan suara bergetar, tapi entahlah itu getaran rasa bersalah, takut atau getaran sedih ibu yang selalu disambut dengan air mata yang setiap hari aku temukan di mata ibu. Tapi aku tak mengerti kenapa ibu selalu menangis.
“Nak. yang sabar..” Tambah ibu.
Sabar? Malang? Entahlah apa maksud omongan ibu, ini benar benar memuakkan ku. Tidak bu, aku bukan seorang anakmu yang malang, jadi untuk apa aku bersabar. Aku bosan jika ibu di sini, membuat aku tak bisa melakukan sesukaku, di tambah lagi dengan ocehan ibu yang ku tak tahu maksudnya.
“Pergi…” Ku usir saja ibu dari kamarku. Ku dorong tubuh renta ibu untuk keluar.
Srrrr, bunyi denyitan pintu yang ku banting dengan keras. Bunyi yang sangat lucu membuatku tertawa lepas kegirangan. Aku masih saja tertawa dengan lepas sambil mengedarkan pandangan di sekitar kamarku. Ya ini kamar baru yang ku tempati sejak 3 bulan yang lalu, semuanya dari bambu. Bentuknya kotak persegi, hanya ada satu ventilasi. Tapi sudah cukup nyaman menurutku.
Dua sejoli tadi? Oh.. aku hampir saja melupakan mereka. Cepat cepat aku bangkit dari kasur buntut ini. Tapi aku sudah tak melihatnya. Kemana mereka? Kemana? Hatiku bertanya tanya saat mataku mencari cari dua sejoli itu dari jendela kamarku.
Ku genggam lebih erat lagi bilah bilah bambu yang menjadi jeruji jendela kamarku, ku tukik sedikit badanku agar terlihat jelas, rambutku terurai tertiup angin, kemudian dua kelereng hitam ini sengaja ku gelindingkan kesana kemari mencari dimanakah dua sejoli tadi. Namun naas, aku belum menemukan mereka. Aku yakin mereka sedang bersembunyi.
Matahari sudah beranjak ke peraduannya. Sesekali terdengar suara jangkrik dan gesekan daun daun bambu yang di tiup angin malam dari hulu sungai itu. Tapi aku belum juga menangkap bayangan dua sejoli tadi, padahal sudah semalam ini aku tetap berdiri di sudut jendelaku. Tak kan ku beranjak dari sini, karena ku tak ingin melewatkan sedetik waktu pun, takut kalau saja mereka datang dan memadu cintanya dengan tawa, canda tapi aku tak melihatnya.
“Sedang apa kau nak?” Tanya ibu yang tiba tiba masuk ke kamarku tanpa menimbulkan kegaduhan.
“Ini ibu bawakan makanan kesukaanmu Sin, ayam rendang, gulai daun singkong serta kerupuk udang Sin.” Tambah ibu sambil meletakkan sepiring nasi yang penuh lauk itu di meja kecil kamarku. Ku pandangi ibu beberapa saat, dengan tatapan kosong tanpa arti. Tapi tak lama, setelah itu ku lemparkan lagi pandangan keluar dari jendela bambu ini menerobos semak semak belukar nan gelap, mengikuti gemiricik air mengalir yang membiaskan cahaya lampu kamarku.
“Ayo makan nak, sudah sehari ini kau tidak mau makan. Nanti perutmu sakit Nak” Kata ibu mulai menyuapkanku, ku kunyah pelan pelan dan ku telan tanpa nafsu.
Aku tidak lapar bu, aku hanya rindu. Aku tak butuh makanan ini tapi yang aku butuhkan hanya dia. Hatiku bergumam. Tapi tak ku ungkapkan pada ibu, wajah rentanya membuatku sedikit sedih. Karena cuma ibu yang memperhatikanku, yang memandikanku, yang menyuapkanku makan seperti saat ini. Berbeda dengan kedua kakakku, sudah pada bekerja tapi tak mempedulikanku.
“Bu, Sinta melihat Uda Yon bermain air dengan seorang perempuan di sana. Perempuannya cantik, mirip foto itu bu” Ceracauku pada ibu saat aku kembali mengingat wajah wajah dua sejoli tadi, ya Uda Yon, kekasihku. Aku mulai sadar itu wajahnya, sedangkan wanita itu persis seperti wanita yang fotonya terpajang di dinding kamarku.
“Itu kau nak, itu kau. Lihatlah betapa cantiknya kau, mirip dengan foto itu” Jelas ibu sambil memegang pipiku. Lalu ibu keluar dan kembali lagi dengan membawa sebuah kaca bundar. Aku? ah yang benar saja.
“Lihatlah wajah kau di cermin ini nak.. betapa cantiknya kau. Persis seperti perempuan di foto itu.” Kata ibu dan memberikan cermin itu padaku yang masih mematung di depan jendela kamarku.
“Cantik, ahhahaaa, ahhahaa.. aku cantik… persis seperti perempuan itu.” Sorakku gembira saat memandang pantulan wajah di cermin itu.
Tawa ku tertahan sejurus kemudian, aku pun mulai kebigungan. Walaupun mirip tapi ada beberapa perbedaan antara wajah yang di pantulkan dari cermin itu dengan wajah di foto itu. Ku pandangi lagi fhoto dan wajah di cermin itu. Terlihat perempuan di foto itu tersenyum tipis memperlihatkan giginya yang putih, rambutnya terurai rapi dan mukanya putih mulus, matanya bak boneka, bulat. Tapi berbeda dengan wajah yang dipantulkan cermin ini, saat wajah di cermin itu tersenyum, terlihat barisan giginya yang menguning, rambutnya pun sudah amburadul, tak terurai indah, wajahnya memang masih mulus tapi sedikit kusam dan ada kantung mata hitam besar yang bergelayutan di kedua matanya.
“Ini bukan aku, bukan aku Bu..” Aku histeris
“Perhatikan baik baik nak” Ucap ibu sambil membelai rambutku.
Aku masih saja sibuk memperhatikan bayangan di cermin itu, aku benar benar ragu entah wanita tadi aku atau Uda Yon sudah punya dambaan lain? Tidak, Uda Yon tidak mungkin meninggalkanku untuk wanita lain. Banyak pertanyaan dan pergejolakkan di hatiku. Uda Yon itu tunanganku, aku masih ingat saat setahun yang lalu dia selalu ada untukku, bercanda, tertawa di hulu sungai samping rumahku. Benar-benar saat-saat yang menyenangkan bagiku. Aku hanya tersenyum mengingatnya.
“Nak, sudahlah. Yono itu sudah meninggalkanmu untuk wanita lain. Benar-benar lelaki brengsek. Kemarin sore ibu bertemu dengan uninya, dan uninya bilang Yono sudah punya anak sekarang, Istrinya baru melahirkan” Kata ibu menghancurkan senyumku.
“Tidak,” Aku berteriak dan menjauhi ibu.
Hatiku memberontak. Ku tatap ibu dengan penuh kebencian. Benar-benar ibu hanya mengada-ada. Meninggalkanku? Oh sangat tidak mungkin. Dia sangat mencintaiku, tidak mungkin dia akan meninggalkanku, apalagi untuk wanita lain bu. Uda Yon ingin mencari uang ke kota untuk melamarku. Itu yang dikatakannya setahun yang lalu dan aku percaya itu, bu. Jangan katakan kalau ibu tidak tahu. Uda Yon mencari pekerjaan ke kota dan suatu hari ia akan kembali untuk melamarku. Dan membuat aku benar-benar muak dengan ibu yang selalu menyalahkan Uda Yon.. tidak… dia hanya mencari kerja.
“Sintaaa… Sintaa…” Tiba tiba terdengar suara syahdu yang aku rindu memanggil lembut namaku. Suaranya terdengar lirih. Ku dengarkan lagi, sekali lagi.. Suara itu terus terusan memanggil namaku. Sepertinya orang yang punya suara itu sedang membutuhkanku. Suaranya di hulu sungai itu.
“Da Yon… aku merindukanmu” Ku berlari keluar dari kotak persegi ini, aku melepaskan diri dari bilik bambu ini untuk mengejar dia yang telah aku tunggu. Ku susuri malam pekat, semak belukar serta batu apung yang berlumut untuk sampai ke sumber suara itu. Tapi yang aku temui disana hanya gelap, tak terlihat rupa Da Yon.
“Da Yon.. dimana kau?” Ku panggil namanya.. tapi tak ku temukan jawaban.
“Da Yon?”
“Sintaa… sintaaa” Suara itu kembali terdengar, ku dengarkan baik baik.
Sintaaaa…” terdengar lagi, sumbernya dari dasar sungai ini.. Suara itu terus terusan memanggil nama ku.
“Da Yon, di sanakah kau?” Namun tak ada jawaban dari suara itu. Suara itu masih saja memanggil namaku.
“Apa yang kau lakukan di dalam sungai ini Da Yon? Apa kau ingin memberikan kejutan padaku, dengan kau bersembunyi di dasar sungai tengah malam begini lalu memanggil namaku, agar aku masuk ke dalam sungai ini. Kemudian kau akan membawa ku berenang bersamamu. Sungguh ini kejutan yang indah. Baiklah aku akan masuk ke dalam sungai ini.Tunggu aku Uda.”
Pelan pelan ku mulai turun dari keadaan gelisah di daratan ini, masuk ke dalam kumpulan air sungai ini. Hawa dingin mulai merasuki saat air membasahi tubuhku, perlahan-lahan air itu menarik ku ke dalam dan jauh ke dalam dasar sungai ini. Tubuh ku melayang di pusaran air yang terus memperdengarkan suara yang memanggil namaku. Gelap dan semakin gelap.. pengap, sesak dan aku tak mampu bernafas dengan sempurna. Samar-samar suara itu menghilang terganti oleh suara Ibu yang memanggil nama ku dengan tersedu. Aku ingin keluar, ingin bebas dari pusaran air ini. Aku menggapai, melambaikan tangan, mendorong tubuh untuk melawan arusnya. Dan di saat itu tubuhku melemah, tenagaku habis di antara gelapnya malam di pusaran. Saat itu pun kepalaku terasa tercengkram, dan semua menjadi gelap dan benar benar senyap.
Sampul Hitam Cinta 4.5 5 Unknown Monday 16 December 2013 Sore yang sejuk dengan angin semilir dan sisa-sisa sinar mentari yang terpantul dari beningnya air sungai memancar lembut lewat ventilas...


No comments:

Post a Comment

Followers

Powered by Blogger.