Sore yang sejuk dengan angin semilir dan sisa-sisa sinar mentari yang
terpantul dari beningnya air sungai memancar lembut lewat ventilasi
jendelaku dan pintu yang sedikit terkuak. Burung pun pulang ke
sarangnya, menciptakan fraksi-fraksi beraneka bentuk lalu menukik ke
bawah hinggap pada pohon-pohon hijau besar nan menjulang di hulu sungai.
Benar benar menenangkan pikiranku. Lalu ku arahkan sudut mata ke hulu
sungai itu terlihat dua sejoli sedang bermain gemiricik air sungai,
berlari di atas bebatuan sungai dan bercanda, tertawa tanpa beban. Mata
mereka memancarkan butir asrama yang tengah dipadu. Wajah laki laki itu
sepertinya aku kenal, perempuan cantik yang tengah bahagia itu rasanya
aku juga tahu, Sungguh membuatku terlupa akan kehidupan, terus ku
pandangi indahnya cengkerama mereka. Tapi dua helai anak rambutku
terjatuh tertiup angin semilir tepat di depan mataku, menghalangi
pandanganku.
“Huft” Ku tiup satu dua helai anak rambut ini. Menjengkelkan. Ku tiup
lagi tapi tetap saja dua helai anak rambut itu tak beranjak dari
tempatnya, sungguh menggangguku. Harus aku apakan lagi, ku pegang anak
rambut itu, mungkin lebih baik aku hilangkan ia dari pandanganku. Sudah
aku tarik kuat-kuat tapi tidak juga ia hilang. Ku ambil lebih banyak
rambut lagi, ku pikir akan lebih mudah menghilangkan rambut sialan ini
dari wajahku.
“Sin… sudah, hentikan.. apa yang kau lakukan. Kenapa kau renggut rambut
kau?” Suara ibu mengagetkanku. Tapi hanya untuk beberapa menit, karena
rambut itu justru semakin menganggu wajahku.
“Ibu bilang hentikan” Ibu membentakku. Memegang tanganku untuk menjauh dari rambut pengganggu itu.
“Nn, .. n.. dd.. aa.. kk..” Aku memberontak, ku arahkan tinjuku ke seluruh penjuru, saat ibu berusaha memeluk dan menenangkanku.
“Ibu, ganggu..” Teriakku sambil mendorong ibu dengan sekuat tenaga untuk
menjauh dariku. Tubuh ibu yang kurus mudah saja bagiku membuat ibu
terpental ke sudut kamar.
“Nak.. mal..ang sekali nasibmu.” Oceh ibu dengan suara bergetar, tapi
entahlah itu getaran rasa bersalah, takut atau getaran sedih ibu yang
selalu disambut dengan air mata yang setiap hari aku temukan di mata
ibu. Tapi aku tak mengerti kenapa ibu selalu menangis.
“Nak. yang sabar..” Tambah ibu.
Sabar? Malang? Entahlah apa maksud omongan ibu, ini benar benar
memuakkan ku. Tidak bu, aku bukan seorang anakmu yang malang, jadi untuk
apa aku bersabar. Aku bosan jika ibu di sini, membuat aku tak bisa
melakukan sesukaku, di tambah lagi dengan ocehan ibu yang ku tak tahu
maksudnya.
“Pergi…” Ku usir saja ibu dari kamarku. Ku dorong tubuh renta ibu untuk keluar.
Srrrr, bunyi denyitan pintu yang ku banting dengan keras. Bunyi yang
sangat lucu membuatku tertawa lepas kegirangan. Aku masih saja tertawa
dengan lepas sambil mengedarkan pandangan di sekitar kamarku. Ya ini
kamar baru yang ku tempati sejak 3 bulan yang lalu, semuanya dari bambu.
Bentuknya kotak persegi, hanya ada satu ventilasi. Tapi sudah cukup
nyaman menurutku.
Dua sejoli tadi? Oh.. aku hampir saja melupakan mereka. Cepat cepat
aku bangkit dari kasur buntut ini. Tapi aku sudah tak melihatnya. Kemana
mereka? Kemana? Hatiku bertanya tanya saat mataku mencari cari dua
sejoli itu dari jendela kamarku.
Ku genggam lebih erat lagi bilah bilah bambu yang menjadi jeruji jendela
kamarku, ku tukik sedikit badanku agar terlihat jelas, rambutku terurai
tertiup angin, kemudian dua kelereng hitam ini sengaja ku gelindingkan
kesana kemari mencari dimanakah dua sejoli tadi. Namun naas, aku belum
menemukan mereka. Aku yakin mereka sedang bersembunyi.
Matahari sudah beranjak ke peraduannya. Sesekali terdengar suara
jangkrik dan gesekan daun daun bambu yang di tiup angin malam dari hulu
sungai itu. Tapi aku belum juga menangkap bayangan dua sejoli tadi,
padahal sudah semalam ini aku tetap berdiri di sudut jendelaku. Tak kan
ku beranjak dari sini, karena ku tak ingin melewatkan sedetik waktu pun,
takut kalau saja mereka datang dan memadu cintanya dengan tawa, canda
tapi aku tak melihatnya.
“Sedang apa kau nak?” Tanya ibu yang tiba tiba masuk ke kamarku tanpa menimbulkan kegaduhan.
“Ini ibu bawakan makanan kesukaanmu Sin, ayam rendang, gulai daun
singkong serta kerupuk udang Sin.” Tambah ibu sambil meletakkan sepiring
nasi yang penuh lauk itu di meja kecil kamarku. Ku pandangi ibu
beberapa saat, dengan tatapan kosong tanpa arti. Tapi tak lama, setelah
itu ku lemparkan lagi pandangan keluar dari jendela bambu ini menerobos
semak semak belukar nan gelap, mengikuti gemiricik air mengalir yang
membiaskan cahaya lampu kamarku.
“Ayo makan nak, sudah sehari ini kau tidak mau makan. Nanti perutmu
sakit Nak” Kata ibu mulai menyuapkanku, ku kunyah pelan pelan dan ku
telan tanpa nafsu.
Aku tidak lapar bu, aku hanya rindu. Aku tak butuh makanan ini tapi
yang aku butuhkan hanya dia. Hatiku bergumam. Tapi tak ku ungkapkan pada
ibu, wajah rentanya membuatku sedikit sedih. Karena cuma ibu yang
memperhatikanku, yang memandikanku, yang menyuapkanku makan seperti saat
ini. Berbeda dengan kedua kakakku, sudah pada bekerja tapi tak
mempedulikanku.
“Bu, Sinta melihat Uda Yon bermain air dengan seorang perempuan di sana.
Perempuannya cantik, mirip foto itu bu” Ceracauku pada ibu saat aku
kembali mengingat wajah wajah dua sejoli tadi, ya Uda Yon, kekasihku.
Aku mulai sadar itu wajahnya, sedangkan wanita itu persis seperti wanita
yang fotonya terpajang di dinding kamarku.
“Itu kau nak, itu kau. Lihatlah betapa cantiknya kau, mirip dengan foto
itu” Jelas ibu sambil memegang pipiku. Lalu ibu keluar dan kembali lagi
dengan membawa sebuah kaca bundar. Aku? ah yang benar saja.
“Lihatlah wajah kau di cermin ini nak.. betapa cantiknya kau. Persis
seperti perempuan di foto itu.” Kata ibu dan memberikan cermin itu
padaku yang masih mematung di depan jendela kamarku.
“Cantik, ahhahaaa, ahhahaa.. aku cantik… persis seperti perempuan itu.”
Sorakku gembira saat memandang pantulan wajah di cermin itu.
Tawa ku tertahan sejurus kemudian, aku pun mulai kebigungan. Walaupun
mirip tapi ada beberapa perbedaan antara wajah yang di pantulkan dari
cermin itu dengan wajah di foto itu. Ku pandangi lagi fhoto dan wajah di
cermin itu. Terlihat perempuan di foto itu tersenyum tipis
memperlihatkan giginya yang putih, rambutnya terurai rapi dan mukanya
putih mulus, matanya bak boneka, bulat. Tapi berbeda dengan wajah yang
dipantulkan cermin ini, saat wajah di cermin itu tersenyum, terlihat
barisan giginya yang menguning, rambutnya pun sudah amburadul, tak
terurai indah, wajahnya memang masih mulus tapi sedikit kusam dan ada
kantung mata hitam besar yang bergelayutan di kedua matanya.
“Ini bukan aku, bukan aku Bu..” Aku histeris
“Perhatikan baik baik nak” Ucap ibu sambil membelai rambutku.
Aku masih saja sibuk memperhatikan bayangan di cermin itu, aku benar
benar ragu entah wanita tadi aku atau Uda Yon sudah punya dambaan lain?
Tidak, Uda Yon tidak mungkin meninggalkanku untuk wanita lain. Banyak
pertanyaan dan pergejolakkan di hatiku. Uda Yon itu tunanganku, aku
masih ingat saat setahun yang lalu dia selalu ada untukku, bercanda,
tertawa di hulu sungai samping rumahku. Benar-benar saat-saat yang
menyenangkan bagiku. Aku hanya tersenyum mengingatnya.
“Nak, sudahlah. Yono itu sudah meninggalkanmu untuk wanita lain.
Benar-benar lelaki brengsek. Kemarin sore ibu bertemu dengan uninya, dan
uninya bilang Yono sudah punya anak sekarang, Istrinya baru melahirkan”
Kata ibu menghancurkan senyumku.
“Tidak,” Aku berteriak dan menjauhi ibu.
Hatiku memberontak. Ku tatap ibu dengan penuh kebencian. Benar-benar ibu
hanya mengada-ada. Meninggalkanku? Oh sangat tidak mungkin. Dia sangat
mencintaiku, tidak mungkin dia akan meninggalkanku, apalagi untuk wanita
lain bu. Uda Yon ingin mencari uang ke kota untuk melamarku. Itu yang
dikatakannya setahun yang lalu dan aku percaya itu, bu. Jangan katakan
kalau ibu tidak tahu. Uda Yon mencari pekerjaan ke kota dan suatu hari
ia akan kembali untuk melamarku. Dan membuat aku benar-benar muak dengan
ibu yang selalu menyalahkan Uda Yon.. tidak… dia hanya mencari kerja.
“Sintaaa… Sintaa…” Tiba tiba terdengar suara syahdu yang aku rindu
memanggil lembut namaku. Suaranya terdengar lirih. Ku dengarkan lagi,
sekali lagi.. Suara itu terus terusan memanggil namaku. Sepertinya orang
yang punya suara itu sedang membutuhkanku. Suaranya di hulu sungai itu.
“Da Yon… aku merindukanmu” Ku berlari keluar dari kotak persegi ini, aku
melepaskan diri dari bilik bambu ini untuk mengejar dia yang telah aku
tunggu. Ku susuri malam pekat, semak belukar serta batu apung yang
berlumut untuk sampai ke sumber suara itu. Tapi yang aku temui disana
hanya gelap, tak terlihat rupa Da Yon.
“Da Yon.. dimana kau?” Ku panggil namanya.. tapi tak ku temukan jawaban.
“Da Yon?”
“Sintaa… sintaaa” Suara itu kembali terdengar, ku dengarkan baik baik.
Sintaaaa…” terdengar lagi, sumbernya dari dasar sungai ini.. Suara itu terus terusan memanggil nama ku.
“Da Yon, di sanakah kau?” Namun tak ada jawaban dari suara itu. Suara itu masih saja memanggil namaku.
“Apa yang kau lakukan di dalam sungai ini Da Yon? Apa kau ingin
memberikan kejutan padaku, dengan kau bersembunyi di dasar sungai tengah
malam begini lalu memanggil namaku, agar aku masuk ke dalam sungai ini.
Kemudian kau akan membawa ku berenang bersamamu. Sungguh ini kejutan
yang indah. Baiklah aku akan masuk ke dalam sungai ini.Tunggu aku Uda.”
Pelan pelan ku mulai turun dari keadaan gelisah di daratan ini, masuk
ke dalam kumpulan air sungai ini. Hawa dingin mulai merasuki saat air
membasahi tubuhku, perlahan-lahan air itu menarik ku ke dalam dan jauh
ke dalam dasar sungai ini. Tubuh ku melayang di pusaran air yang terus
memperdengarkan suara yang memanggil namaku. Gelap dan semakin gelap..
pengap, sesak dan aku tak mampu bernafas dengan sempurna. Samar-samar
suara itu menghilang terganti oleh suara Ibu yang memanggil nama ku
dengan tersedu. Aku ingin keluar, ingin bebas dari pusaran air ini. Aku
menggapai, melambaikan tangan, mendorong tubuh untuk melawan arusnya.
Dan di saat itu tubuhku melemah, tenagaku habis di antara gelapnya malam
di pusaran. Saat itu pun kepalaku terasa tercengkram, dan semua menjadi
gelap dan benar benar senyap.